Karya: Fathimah Az Zahraa
Alkisah, di salah satu anak Sungai Tello,
hiduplah sekelompok masyarakat yang jauh dari peradaban. Mereka hidup rukun
tanpa ada gangguan. Daerah itu dikelilingi rumput setinggi telinga orang
dewasa, sehingga tak seorangpun yang mengetahui bahwa ada sekelompok manusia
yang bermukim di sana, bahkan raja yang sedang berkuasa saat itupun tidak
mengetahuinya. Anak Sungai Tello itu tidak terlalu besar namun airnya cukup
untuk kebutuhan harian sepanjang tahun.
Suatu hari, dua perampok sedang mencari
tempat persembunyian. Mereka baru saja merampok salah satu rombongan keluarga
kerajaan. Hal itu membuat kedua perampok mencari tempat persembunyian, sampai
keadaan cukup aman untuk menjual hasil rampokan mereka.
“Hari ini hasil rampokan kita sangat
melimpah, namun kita tidak bisa langsung menjualnya. Kita harus bersembunyi
dari kejaran pasukan kerajaan sampai keadaan membaik”, ujar perampok A.
“Kita bersembunyi di sekitar sini,
tempat ini cukup terpencil. Rumputnya sangat tinggi, tidak ada tanda-tanda
kehidupan manusia di sini sehingga para pasuka kerajaan tidak akan mencari kita
sampai di sini”, usul perampok B sambil berjalan menembus ilalang.
Keesokan harinya, perampok B menemukan
pemukiman sederhana di sekitar tempatnya bersembunyi. Perampok itu kemudian menceritakan
hal tersebut pada perampok A. Mendengar hal tersebut, perampok A yang memiliki
ide untuk diam-diam masuk ke rumah-rumah dan mencuri sedikit persediaan makanan
milik warga.
“Ketika mereka tidur kita pergi ke
sana dan mengambil makanan yang ada di rumah-rumah tersebut, tetapi jangan
mengambil semuanya. Kita cukup mengambil satu jenis makanan dari setiap rumah”,
usul perampok A.
Kedua perampok itu kemudian
menyelinap ke rumah warga yang telah terlelap dan mengambil makanan. Mereka
mengambil singkong dari rumah pertama, kemudian mengambil makanan lain di rumah
berikutnya. Bahkan mereka juga mengambil ternak dari rumah yang lain. Sementara
itu, warga yang bersangkutan tidak menyadari kejadian tersebut,
Keesokan paginya, warga mulai ribut.
Makanan dan ternak mereka menghilang. Timbul-lah kecurigaan satu sama lain.
Namun mereka memutuskan untuk melupakan kejadian tersebut karena kedekatan
mereka selama ini. Peristiwa kehilangan itu terus berlanjut. Sudah tujuh kali
mereka kehilangan makanan serta ternak. Persediaan makanan wargapun mulai
habis, Hal ini membuat masyarakat naik pitam. Mengetahui hal tersebut, perampok
B memberi usul untuk mengadu domba masyarakat.
“Sebentar malam, saat kita mengambil
makanan dari rumah seperti biasanya. Bagaimana kalau kita tinggalkan sedikit
makanan yang kita ambil dari rumah pertama di rumah kedua, begitu seterusnya”, usul
perampok B dengan licik. Usul tersebut kemudian diterima perampok A.
Malam itu, kedua perampok itu kembali
menyelinap ke rumah warga dan mengambil persediaan makanan warga seperti
biasanya. Namun, kali ini sesuai saran perampok B mereka sengaja menyimpan
sedikit makanan yang mereka curi dari rumah pertama di rumah lain.
Ide licik perampok B berhasil.
Seluruh masyarakat yang sangat geram karena kehilangan persediaan makan
akhirnya termakan muslihat perampok. Melihat jejak makanan yang hilang di
rumahnya berada di rumah warga lain membuat mereka kehilangan akal. Hal ini
membuat meraka bertengkar hebat. Dengan membawa parang para orang tua berkumpul
dan saling membunuh secara membabi buta di anak sungai Tello. Banyak yang
meninggal dalam kejadian ini diakibatkan luka yang cukup parah. Darah mereka
pun mengalir sampai ke Sungai Tello sehingga mencemari sungai.
Akibatnya, kedua perampok itu
dikutuk menjadi buaya. Makhluk yang suka mengendap-endap seperti pencuri untuk
makan. Mereka kini berada di Sungai Tello. Sementara itu, jazad masyarakat
sekitar diubah menjadi tanah untuk menghentikan aliran air bercampur darah ke sungai
akibat peristiwa itu. Tanah tersebut sangatlah subur, cocok untuk pertanian dan
peternakan. Hal ini untuk mencegah masyarakat kembali bertengkar akibat
kekurangan makanan.
Sementara itu, masyarakat yang
selamat kemudian memberi nama daerah ini dengan sebutan paccerakkang. Kata paccerakkang
terdiri dari dua kata yaitu pacce
yang berarti bodoh, kesalahan, kekeliruan dan kata cerak yang berarti darah. Sehingga paccerakkang dapat berarti pertumpahan darah yang diakibatkan oleh
kekeliruan atau kebodohan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar