Jumat, 14 Oktober 2016

Asal Mula Paccerakkang



Karya: Fathimah Az Zahraa

            Alkisah, di salah satu anak Sungai Tello, hiduplah sekelompok masyarakat yang jauh dari peradaban. Mereka hidup rukun tanpa ada gangguan. Daerah itu dikelilingi rumput setinggi telinga orang dewasa, sehingga tak seorangpun yang mengetahui bahwa ada sekelompok manusia yang bermukim di sana, bahkan raja yang sedang berkuasa saat itupun tidak mengetahuinya. Anak Sungai Tello itu tidak terlalu besar namun airnya cukup untuk kebutuhan harian sepanjang tahun.
            Suatu hari, dua perampok sedang mencari tempat persembunyian. Mereka baru saja merampok salah satu rombongan keluarga kerajaan. Hal itu membuat kedua perampok mencari tempat persembunyian, sampai keadaan cukup aman untuk menjual hasil rampokan mereka.

            “Hari ini hasil rampokan kita sangat melimpah, namun kita tidak bisa langsung menjualnya. Kita harus bersembunyi dari kejaran pasukan kerajaan sampai keadaan membaik”, ujar perampok A.
            “Kita bersembunyi di sekitar sini, tempat ini cukup terpencil. Rumputnya sangat tinggi, tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sini sehingga para pasuka kerajaan tidak akan mencari kita sampai di sini”, usul perampok B sambil berjalan menembus ilalang.
            Keesokan harinya, perampok B menemukan pemukiman sederhana di sekitar tempatnya bersembunyi. Perampok itu kemudian menceritakan hal tersebut pada perampok A. Mendengar hal tersebut, perampok A yang memiliki ide untuk diam-diam masuk ke rumah-rumah dan mencuri sedikit persediaan makanan milik warga.
            “Ketika mereka tidur kita pergi ke sana dan mengambil makanan yang ada di rumah-rumah tersebut, tetapi jangan mengambil semuanya. Kita cukup mengambil satu jenis makanan dari setiap rumah”, usul perampok A.
            Kedua perampok itu kemudian menyelinap ke rumah warga yang telah terlelap dan mengambil makanan. Mereka mengambil singkong dari rumah pertama, kemudian mengambil makanan lain di rumah berikutnya. Bahkan mereka juga mengambil ternak dari rumah yang lain. Sementara itu, warga yang bersangkutan tidak menyadari kejadian tersebut,
            Keesokan paginya, warga mulai ribut. Makanan dan ternak mereka menghilang. Timbul-lah kecurigaan satu sama lain. Namun mereka memutuskan untuk melupakan kejadian tersebut karena kedekatan mereka selama ini. Peristiwa kehilangan itu terus berlanjut. Sudah tujuh kali mereka kehilangan makanan serta ternak. Persediaan makanan wargapun mulai habis, Hal ini membuat masyarakat naik pitam. Mengetahui hal tersebut, perampok B memberi usul untuk mengadu domba masyarakat.
            “Sebentar malam, saat kita mengambil makanan dari rumah seperti biasanya. Bagaimana kalau kita tinggalkan sedikit makanan yang kita ambil dari rumah pertama di rumah kedua, begitu seterusnya”, usul perampok B dengan licik. Usul tersebut kemudian diterima perampok A.
            Malam itu, kedua perampok itu kembali menyelinap ke rumah warga dan mengambil persediaan makanan warga seperti biasanya. Namun, kali ini sesuai saran perampok B mereka sengaja menyimpan sedikit makanan yang mereka curi dari rumah pertama di rumah lain.
            Ide licik perampok B berhasil. Seluruh masyarakat yang sangat geram karena kehilangan persediaan makan akhirnya termakan muslihat perampok. Melihat jejak makanan yang hilang di rumahnya berada di rumah warga lain membuat mereka kehilangan akal. Hal ini membuat meraka bertengkar hebat. Dengan membawa parang para orang tua berkumpul dan saling membunuh secara membabi buta di anak sungai Tello. Banyak yang meninggal dalam kejadian ini diakibatkan luka yang cukup parah. Darah mereka pun mengalir sampai ke Sungai Tello sehingga mencemari sungai.
            Akibatnya, kedua perampok itu dikutuk menjadi buaya. Makhluk yang suka mengendap-endap seperti pencuri untuk makan. Mereka kini berada di Sungai Tello. Sementara itu, jazad masyarakat sekitar diubah menjadi tanah untuk menghentikan aliran air bercampur darah ke sungai akibat peristiwa itu. Tanah tersebut sangatlah subur, cocok untuk pertanian dan peternakan. Hal ini untuk mencegah masyarakat kembali bertengkar akibat kekurangan makanan.
            Sementara itu, masyarakat yang selamat kemudian memberi nama daerah ini dengan sebutan paccerakkang. Kata paccerakkang terdiri dari dua kata yaitu pacce yang berarti bodoh, kesalahan, kekeliruan dan kata cerak yang berarti darah. Sehingga paccerakkang dapat berarti pertumpahan darah yang diakibatkan oleh kekeliruan atau kebodohan.
                       
           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar